1.3 Gamelan Surakarta dan Yogyakarta
Walaupun Jawa merupakan wilayah kebudayaan yang luas, istilah Gamelan Jawa biasanya merujuk pada Gamelan Surakarta atau Yogyakarta. Keduanya merupakan monarki yang masih eksis di Pulau Jawa.
Sebagaimana telah diketahui, Surakarta dan Yogyakarta awalnya merupakan satu kesultanan, yakni Mataram. Dalam perkembangannya, Kesultanan Mataram terpecah menjadi dua, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Perpecahan ini ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Selanjutnya, kedua kerajaan menandatangani Perjanjian Jatisari pada 15 Februari 1755 (Putri & Nugroho, 2022).
Perjanjian Jatisari merupakan peletak dasar-dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan. Pembahasanya meliputi tata cara berpakaian, adat-istiadat, bahasa, tari-tarian, dan lain sebagainya. Secara garis besar, Yogyakarta memutuskan untuk meneruskan tradisi Mataram sementara Surakarta memodifikasi atau mengembangkan kebudayaan baru dengan tetap berlandaskan pada kebudayaan lama. Setelah perjanjian tersebut, kedua kerajaan mengembangkan ciri khas kebudayaan masing-masing. Salah satunya adalah Gamelan.
Secara umum, Gamelan Surakarta dan Yogyakarta memiliki banyak persamaan, namun ada beberapa detil yang membedakan keduanya (Kamasetra UNY, 2020). Walau demikian, seiring dengan berkembangnya jaman, terjadi pembauran antara Gamelan Surakarta dengan Gamelan Yogyakarta. Sebagai contoh, tampilan luarnya seperti Gamelan Yogyakarta, tetapi suaranya lebih mirip Gamelan Surakarta. Hal ini tidaklah lagi dipermasalahkan oleh masyarakat karena Gamelan itu berpulang kepada selera atau keinginan sang pemilik.
Berikut adalah beberapa penjelasan terkait perbedaan karakteristik Gamelan Surakarta dan Yogyakarta (Kamasetra UNY, 2020) :
- Ornamen / Ukiran
Rancakan (tempat meletakkan alat musik yang terbuat dari kayu) pada Gamelan Yogyakarta memiliki motif ukiran yang lebih sederhana, atau bahkan polos sama sekali. Ini menimbulkan kesan gagah dan berwibawa ketika melihat fisik instrumennya. Gamelan Surakarta memiliki motif ukiran yang lebih rumit dan ukirannya bersifat tembus pandang (trawangan) sehingga terlihat lebih anggun dan cantik.
- Dimensi Bentuk / Ukuran
Instrumen pada Gamelan Yogyakarta memiliki ukuran lebih besar (panjang, lebar, dan ketebalan wilahannya) dan jarak antarwilahan lebih renggang daripada Gamelan Surakarta.
- Komponen Instrumen
Secara umum, Gamelan Surakarta dan Yogyakarta memiliki instrumen yang sama. Walau demikian, ada beberapa perbedaan yang mencirikan Gamelan Surakarta dan Yogyakarta.
Pada instrumen saron slendro, gamelan Yogyakarta memiliki wilahan 6 bilah, sedangkan Surakarta memiliki 7 bilah. Susunan instrumen gamelan Yogyakarta tidak memiliki kendhang kosek, engkuk-kenong dan kecer. Sedangkan pada gamelan Surakarta tidak memiliki instrumen bonang panembung, kenong japan, kendhang penuntung dan bedug.
- Teknik Permainan dan Ekspresi (Wirasa)
Ekspresi musik gamelan Surakarta lebih banyak bersifat halus (feminin). Hal ini terlihat jelas pada komposisi Ladrang dan Ketawang, di mana peran bonang barung sangat menonjol. Irama tempo cepat (seseg) hanya berfungsi sebagai klimaks. Ekspresi musik pada gamelan Yogyakarta, lebih banyak bersifat heroik, menghibur, enerjik dan menggugah semangat (maskulin). Hal ini terlihat jelas pada komposisi Lancaran dan Soran. Peran instrumen wilahan sangat menonjol.
Perbedaan ini didasarkan pada teknik tabuhan dari perangkat gamelan itu sendiri yang memiliki pakem berbeda. Pada Gamelan Yogyakarta, peking ditabuh selalu setelah nada dasar (balungan) dari instrumen lain berbunyi (disebut dengan ndishiki), sedangkan di Surakarta peking ditabuh sebelum (membelakangi) balungan, ini disebut dengan ngereni atau nginthil.
Selain dari instrumen perbedaan teknik tabuh gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta adalah dari instrumen ketuk. Pada Gamelan Yogyakarta, setiap tabuhan ketuk selalu diikuti dengan efek tabuhan sekali yang volume tabuhnya lebih lemah dari yang pertama. Pada Gamelan Surakarta, tabuhan ketuk dilakukan sekali diikuti efek tabuhan yang lebih dari sekali dengan suara makin lemah.
- Tata Busana dan Tata Rias
Wiyaga laki-laki Yogyakarta menggunakan blangkon khas Yogyakarta dengan mondolan (gelung) yang besar sebagai penutup kepala. Wiyaga mengenakan baju surjan (baju takwa) sebagai atasan dengan jarik dominan corak warna coklat tua dan putih sebagai bawahan. Sedangkan busana wiyaga laki-laki Surakarta menggunakan blangkon khas Surakarta dengan mondolan gepeng, lalu mengenakan baju beskap dan jarik dominan corak warna coklat muda dan putih.
Wiyaga perempuan Yogyakarta menggunakan kebaya khas Yogyakarta sebagai atasannya. Wiyaga perempuan juga sering mengenakan pakaian abdi dalem keraton disebut dengan janggan. Sebagai bawahan, wiyaga perempuan Yogyakarta mengenakan jarik dominan corak warna coklat tua dan putih dengan rambut yang disanggul gelung tekuk. Sedangkan wiyaga perempuan Surakarta menggunakan kebaya khas Surakarta dengan jarik dominan corak warna coklat muda dan putih dan rambut yang disanggul konde.
Kepustakaan
- Kamasetra UNY : Keluarga Mahasiswa Seni Tradisi Universitas Negeri Yogyakarta. (2020, Mei 1). Analisis Perbedaan Gamelan Yogyakarta dan Surakarta. https://kamasetra.wordpress.com/2020/05/01/analisis-perbedaan-gamelan-yogyakarta-dan-surakarta/
- Putri, D. L. & R. S. Nugroho. (2022, Februari 15). Perjanjian Jatisari 15 Februari 1755, Awal Mula Beda Budaya Surakarta dan Yogyakarta. https://www.kompas.com/tren/read/2022/02/15/060000065/perjanjian-jatisari-15-februari-1755-awal-mula-beda-budaya-surakarta-dan?page=all.