3.1 Laras Slendro
Gamelan Jawa menggunakan tangga nada Pentatonik karena memiliki lima nada dasar dalam satu gembyang (oktaf). Gamelan Jawa memiliki dua laras, yakni Slendro dan Pelog. Karena memiliki laras yang berbeda, instrumen-instrumen melodi pada gamelan biasanya memiliki dua varian. Sebagai contohnya adalah instrumen Gendher. Ada Gendher Slendro dan Gendher pelog. Demikian pula dengan Bonang, Saron, dan lain sebagainya. Dalam bagian ini, pembahasan adalah seputar Laras Slendro.
Dalam mitologi Jawa Kuno, diyakini bahwa Slendro merupakan laras yang diciptakan oleh Batara Indra. Beberapa literatur menyatakan bahwa laras slendro diciptakan lebih dahulu daripada laras pelog (Purbo Asmoro Official, 2023).
Dalam penelitiannya, Hastanto dkk. (2015) mengungkapkan bahwa penggunaan Laras Slendro tersebar luas di berbagai penjuru Indonesia, bahkan dunia. Sebut saja di kebudayaan Inggris Utara, kebudayaan orang Indian di Amerika, kebudayaan Maori di Selandia baru, kebudayaan Aborigin di Australia hingga kebudayaan suku-suku di Sungai Amazon, Amerika Selatan. Banyak musik tradisional nusantara menggunakan Slendro sebagai sistem tangga nadanya, sebut saja musik tradisional Sunda, Bali, Madura, Banyuwangi, Banjar (Kalimantan Selatan), dan Palembang (Sumatera Selatan).
Hastanto dkk. (2015) mengungkapkan bahwa banyak orang Indonesia salah memahami laras Slendro akibat kurangnya pengetahuan mengenai musik tradisional. Orang Indonesia banyak yang mengetahui bahwa laras Slendro tergolong sebagai pentatonik, namun menganggap laras Slendro sama dengan nada-nada “miring” dari tangga nada Diatonis (yang tercermin oleh tuts hitam pada piano). Ini adalah kesalahan yang perlu diluruskan. Laras Slendro merupakan tangga nada yang unik karena memiliki aturan dan wirasa yang berbeda dengan tangga nada Diatonis.
Secara sederhana, Supanggah (dalam Ariawarman, 2017) mendefinisikan Slendro sebagai sistem urutan nada-nada yang terdiri dari lima nada dalam satu gembyang (oktaf) dengan pola jarak (interval) yang hampir sama rata. Kelima nada tersebut adalah :
- Penunggul, atau nada siji yang disingkat ji, dinotasikan dengan angka 1.
- Gulu, atau nada loro yang disingkat ro, dinotasikan dengan angka 2.
- Dhadha, atau nada telu yang disingkat lu, dinotasikan dengan angka 3.
- Limo, atau nada limo yang disingkat mo, dinotasikan dengan angka 5.
- Nem, atau nada enem yang disingkat nem, dinotasikan dengan angka 6.
Dalam notasi bilangan, laras Slendro ditulis sebagai berikut :
1 2 3 5 6 i
±1x ±1x ±1x ±1x ±1x
Dari notasi di atas, bisa dilihat bahwa tanda (±) digunakan untuk menandai interval nada. Hal ini adalah keunikan laras-laras gamelan (Slendro dan Pelog) bila dibandingkan dengan tangga nada Diatonis. Laras Gamelan tidak mengenal konsep absolute pitch seperti tangga nada Diatonis yang telah mengalami standardisasi atau pembakuan di Eropa sejak abad ke 17 (Hastanto dkk.). Sebagai akibatnya, jarak antarnada tidak selalu persis sama sehingga bunyi gamelan satu dengan lainnya belum tentu sama walau alat musiknya sama dan larasnya sama. Di situlah muncul keunikan dan kekayaan bunyi gamelan. Hal ini akan dibahas lebih lanjut di bagian Pelarasan.
Kepustakaan
- Ariawarman, M. (2017). Tinjauan Proses Pembuatan Gong Gamelan Jawa. [Skripsi, Universitas Negeri Jakarta] http://repository.unj.ac.id/29121/1/Muhammad%20Ariawarman.pdf.
- Hastanto, S. dkk. (2015). Redefinisi Laras Slendro. [Laporan Penelitian, Institut Seni Indonesia] Institut Seni Indonesia: http://repository.isi-ska.ac.id/690/1/Lap%20PenelREDIVINISI%20LARAS%20SLENDRO%20Prof%20Has.pdf
- Purbo Asmoro Official. (2023, Desember 21). Instrumen Gamelan Jawa yang Wajib Diketahui
. Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=W4-87778-2g&list=LL&index=2.