4.1 Pelarasan dalam Musik Barat
Hastanto dkk. (2015) menyebutkan bahwa pelarasan dalam Gamelan Jawa berbeda dengan pelarasan yang ada di tangga nada Diatonis milik masyarakat Barat. Perbedaan utamanya terletak pada konsep absolute pitch, yang mana konsep ini digunakan pada tangga nada Diatonis Barat.
Pada tangga nada Diatonis Barat, frekuensi nada dan interval antarnada telah dibakukan secara internasional sehingga pelarasan instrumen musik harus berpatokan pada standar baku tersebut. Sebagai contoh, nada A4 dipatok pada frekuensi 440 Hz dan jumlah interval nada dalam 1 oktaf harus tepat di angka 1.200 cents.
Berikut ditampilkan interval pada tangga nada Diatonis Barat :
Diatonis Mayor : C D E F G A B C
200c 200c 100c 200c 200c 200c 100c
Diatonis Minor : A B C D E F G A
200c 100c 200c 200c 100c 200c 200c
Sebagai akibatnya, nada-nada di luar frekuensi dan interval yang ditetapkan akan otomatis dinyatakan sebagai sumbang. Di satu sisi, hal ini memudahkan para musisi untuk melakukan proses pelarasan karena standar yang sudah baku. Namun, di sisi lain, keunikan dan kreativitas dalam musik menjadi berkurang karena serba dibatasi. Padahal, setiap kebudayaan memiliki penghayatan dan keunikannya sendiri-sendiri, termasuk dalam hal musik. Untuk itu, kita perlu memahami konsep penting yang digunakan dalam Gamelan Jawa untuk melakukan pelarasan, yaitu Embat.
Kepustakaan
- Hastanto, S. dkk. (2015). Redefinisi Laras Slendro. [Laporan Penelitian, Institut Seni Indonesia] Institut Seni Indonesia: http://repository.isi-ska.ac.id/690/1/Lap%20PenelREDIVINISI%20LARAS%20SLENDRO%20Prof%20Has.pdf