4.3 Teknik Pelarasan
Dengan memahami konsep Embat, bisa disimpulkan bahwa pembakuan nada secara luas merupakan sesuatu yang kurang diharapkan pada Gamelan Jawa. Sudah menjadi kesepakatan para seniman tradisional di Nusantara (bukan hanya di Jawa) bahwa proses pelarasan tidak perlu dibakukan (Hastanto, 2015), namun dikembalikan kepada kebutuhan setiap seniman dan ekspresi kebudayaan dari masing-masing daerah. Sebagai contoh, ada pemilik Gamelan yang menghendaki suara Gamelannya terdengar tinggi, namun ada juga yang menghendaki suara Gamelannya terdengar berat.
Karena tidak adanya pembakuan frekuensi dan interval nada, pelarasan pada Gamelan Jawa biasanya bergantung pada kemampuan orang yang bertugas melakukan pelarasan, yang disebut Empu Laras.
Sebelum melakukan pelarasan, umumnya Empu Laras akan menanyakan terlebih dahulu keinginan dari sang pemilik Gamelan. Pertanyaan biasanya meliputi :
- Tujuan Penggunaan Gamelan
Apakah gamelan akan digunakan untuk pertunjukan wayang purwa, sanggar tari, pertunjukan karawitan di tempat wisata, dan lain-lain. Walau demikian, dalam prakteknya, banyak pemilik Gamelan yang menggunakan gamelannya untuk berbagai kebutuhan dan tidak melakukan tuning ulang ketika kebutuhannya berganti.
- Acuan Laras
Apakah pemilik memiliki referensi yang dapat digunakan sebagai acuan pelarasan. Misalnya, apakah pemilik ingin Gamelannya dilaras agar bunyinya mirip seperti gamelan milik RRI Surakarta, milik sanggar karawitan tertentu, dan lain-lain. Bila tidak ada, maka pelarasan mengandalkan sepenuhnya kemampuan Empu Laras dalam mendengarkan dan merasakan nada-nada gamelan.
Biasanya, ricikan (instrumen) yang akan dilaras pertama kali adalah ricikan-ricikan yang tergolong sebagai wilahan (alat musik dengan bilah logam sebagai sumber bunyi). Ricikan yang disarankan untuk dilaras pertama kali adalah Gendher Pembarung karena jumlah nada yang paling lengkap, yang terlihat dari jumlah bilah yang mencapai 14 buah (Purbo Asmoro Official, 2023). Walau demikian, hal tersebut bukanlah aturan baku dan empu laras dibebaskan untuk bekerja menurut metode yang ia rasakan paling sesuai.
Dalam melaras bilah, Empu Laras memerlukan alat gerinda dan acuan laras (hanya bila diperlukan; bisa berupa ricikan contoh atau rekaman bunyi). Alat gerinda bisa menggunakan yang manual / konvensional atau menggunakan yang modern (dengan listrik).
Pertama-tama, Empu Laras akan mendengarkan bunyi setiap nada dari acuan laras. Kemudian, ia akan membunyikan instrumen yang akan dilaras. Ia akan membandingkan kedua bunyi tersebut dan menentukan apakah nadanya sudah pas, terlalu tinggi atau terlalu rendah. Bila terlalu tinggi, ia akan menggerinda bagian tengah dari wilahan agar nadanya menjadi lebih rendah. Bila terlalu rendah, ia akan menggerinda bagian ujung-ujung dari wilahan agar nadanya menjadi lebih tinggi. Hal ini dilakukan satu persatu hingga semua wilahan berhasil diperiksa dan dilaras.
Pada instrumen yang berbentuk pencon (stupa) seperti bonang dan gong, cara melarasnya berbeda. Nada diperoleh dengan memukul-mukul bagian dalam pencon (bila nada terlalu rendah) atau bagian luar (bila nada terlalu tinggi). Alat pemukulnya berbentuk seperti palu namun dengan permukaan yang kecil.
Demikian alat musik lainnya dilaras sedemikian rupa sehingga diperoleh nada yang sesuai dan sama pada setiap instrumennya.
Kepustakaan
- Hastanto, S. dkk. (2015). Redefinisi Laras Slendro. [Laporan Penelitian, Institut Seni Indonesia] Institut Seni Indonesia: http://repository.isi-ska.ac.id/690/1/Lap%20PenelREDIVINISI%20LARAS%20SLENDRO%20Prof%20Has.pdf
- Purbo Asmoro Official. (2023, Desember 21). Instrumen Gamelan Jawa yang Wajib Diketahui . Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=W4-87778-2g&list=LL&index=2.